JURNAL HORTIKULTURA
Author: Ria wahyu sejati.. u can call me TECKO // Category:JURNAL HORTIKULTURA
- Pendahuluan
Strategi pembangunan pertanian pada periode sebelumnya lebih banyak diarahkan pada usaha meningkatkan produksi pertanian. Upaya peningkatan produktivitas dan produksi pertanian belum menunjukkan keberhasilan pembangunan pertanian seutuhnya, terutama dalam peningkatan kualitas hidup petani. Peningkatan produktivitas belum menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan petani, selama petani hanya mampu menjual hasil panennya dalam bentuk bahan mentah. Pemasaran hasil dalam bentuk bahan mentah, memiliki beberapa kelemahan diantaranya: nilai tambahnya rendah, mudah rusak, daya simpan terbatas, dan konsistensi mutu sulit dijamin. Selain itu, penanganan hasil panen juga masih lemah dengan tingginya tingkat kehilangan hasil panen. Tingkat kehilangan hasilpanen padi selama tahun 1997-2002 rata-rata mencapai 24,61% per tahun.
Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan agribisnis, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah sampai pemasaran produk akhir. Peran kegiatan pascapanen menjadi sangat penting, karena merupakan salah satu sub-sistem agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk agribisnis. Sebagai gambaran, nilai PDB yang dihasilkan industri pengolahan berbahan baku komoditas primer perkebunan adalah sebesar Rp. 1.666,6 triliun atau lebih dari empat kali lipat nilai PDB komoditas primer perkebunan yang besarnya Rp. 37,6 triliun. Dibanding dengan produk segar, produk olahan mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar. Data BPS menunjukkan bahwa perolehan devisa dari ekspor produk olahan pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 rata-rata sebesar US$ 4.638,2 juta per tahun, sementara ekspor produk segar hanya mencapai US$ 119,2 ribu per tahun.
TEKNOLOGI PASCAPANEN PROSPEKTIF
- Padi
Produksi beras nasional pada tahun 2005 - 2010 diperkirakan akan habis terserap untuk kebutuhan pokok, maka pengembangan agribisnis beras untuk 5 tahun yang akan datang masih dititikberatkan pada perbaikan kualitas gabah (beras) dan pengolahan hasil samping serta limbah yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Pohon industri komoditas padi disajikan pada Lampiran 1. Tuntutan masyarakat terhadap beras berkualitas meningkat sejalan dengan perbaikan pendapatan dan perubahan pola makan. Oleh karena itu, agribisnis untuk menghasilkan beras berkualitas mempunyai harapan untuk dikembangkan. Untuk pengembangan agribisnis padi diperlukan dukungan biaya investasi dan dukungan kebijakan pemerintah.
- Prospek pengembangan agroindustri padi
Padi merupakan sumber pangan, terutama bagi penduduk Asia seperti Cina, India Indonesia, Bangladesh, Vietnam, Thailand, Myanmar, Jepang dan Philipina. Padi sebagai sumber nutrisi dan energy bagi penduduk negara tropis, karena padi menyediakan 56 - 80% kebutuhan kalori penduduk. Bagi negara produsen padi, beras tidak hanya berperan sebagai sumber pangan utama, tetapi juga sebagai kegiatan ekonomi dan sumber kesempatan kerja serta penghasilan bagi penduduk pedesaan.
Tuntutan terhadap kualitas beras semakin tinggi sejalan dengan membaiknya pendapatan konsumen, terutama kelompok berpenghasilan menengah ke atas. Persentase penduduk yang pengeluaran per kapita per bulan lebih dari Rp.500.000,- yaitu sebesar7,6%3, merupakan kelompok konsumen potensial untuk beras berkualitas. Konsumen kelompok menengah ke bawah kurang memperhatikan mutu beras. Hal ini terlihat dari masyarakat yang mendapat bantuan beras murah (masyarakat miskin) untuk rumah 8 9 tangga di perkotaan sebesar 28,40% dan di pedesaan sebesar 54,80%.
Pengembangan produk dari hasil samping dan limbah pengolahan beras sangat prospektif dikembangkan. Dari volume produksi padi nasional sebesar 51,85 juta ton pada tahun 2003, akan diperoleh hasil samping berupa beras patah dan menir sebesar 12,30 juta ton (25%) dan limbah sekam sebesar 1,36 juta ton (20%). Tepung beras digunakan sebagai bahan baku bihun, kerupuk dan aneka produk makanan. Penggunaan sekam umumnya untuk bahan bakar bata,campuran pembuatan bata, genteng, grabah dan media tumbuh.
- Teknologi pascapanen padi
Sebagian besar petani di Indonesia tidak melakukan penanganan pascapanen sendiri karena petani menjual langsung dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Kondisi ini disebabkan karena belum adanya insentif yang menarik bagi petani untuk meningkatkan kualitas hasil panen, upah pengeringan belum seimbang (memadai) dibandingkan dengan harga gabah kering giling (GKG), petani perlu uang tunai sehingga dijual dalam bentuk gabah kering panen (GKP)dengan mutu lebih rendah dan kondisi kurang kondusif saat panen raya yang dimanfaatkan oleh pedagang pengumpul (tengkulak) gabah dengan membeli murah.
Mutu beras di pasaran beragam karena terjadinya manipulasi mutu beras seperti pencampuran (pengoplosan) beras, pemalsuan label kemasan tidak sesuai isinya, penyosohan beras mutu rendah, penyemprotan zat aromatik dan pemutih; alat penggilingan sudahberumur di atas 10 tahun sehingga lebih dari batas ambang ekonomi; parameter mutu beras dalam negeri lebih rendah dibanding parameter mutu beras internasional, sehingga banyak beras impor mutu rendah yang masuk. Kualitas beras Indonesia bervariasi, mulai dari Kelas Mutu I, II, III, IV dan V. Hasil penelitian preferensi konsumen di pasar Jawa Barat dan DKI Jakarta tahun 2003 kerjasama IRRI dengan Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian menunjukkan bahwa rata-rata kelas mutu beras di pasaran adalah kelas mutu III. Untuk membangun dan mengembangkan kawasan agribisnis padi yang tangguh dan memberikan jaminan kehidupan petani yang lebih baik, maka dibutuhkan sarana dan prasarana penanganan pascapanen mulai dari panen, perontokan, pengeringan, penggilingandan sarana penunjang.
Dengan luas panen padi di Indonesia sebesar11.453.000 ha pada tahun 2003 dan kapasitas threser 34 ha/tahun maka dibutuhkan mesin perontok padi (power thresher) sebanyak 336.852 unit (masa usia teknis 5 tahun) dengan biaya investasiRp.2,56,- trilyun. Jumlah penggilingan padi di Indonesia tahun 2004 sebanyak 110.611 unit. Umumnya usia teknis sudah lebih dari 10 tahun dan menyebabkan mutu beras beragam (rendah). Oleh karena itu, untuk menghasilkan beras berkualitas perlu revitalisasi (peremajaan) alat penggilingan padi. Kebutuhan penggilingan untuk110.611 unit (kapasitas produksi 1,2 ton per jam, usia alat 10 tahun) maka diperlukan biaya investasi sebesar Rp. 100,3 trilyun.
Dengan asumsi jumlah mesin pengering padi sama dengan jumlah alat penggilingan padi sebanyak 110.611 unit, maka diperlukan biayainvestasi untuk pengadaan alat pengering gabah sebesar Rp. 3,37trilyun. Kebutuhan lantai jemur seluruh Indonesia sebanyak 110.611unit (kapasitas 5 ton per 300 m2, usia teknis 5 tahun) dengan biaya investasi sebesar Rp.2.21 trilyun. Total kebutuhan biaya investasi untuk kegiatan pascapanen padi sebesar Rp. 188 trilyun.
Biaya investasi ini dapat dilakukan dalam 10 tahun yang akan datang, sehingga biaya investasi untuk menghasilkan gabah (beras) berkualitas diperlukan biaya per tahun sebesar Rp. 18,8 trilyun. Bila produksi tepung beras diproyeksikan sebesar 1% dari total potensi beras patah dan menir yang tersedia, maka akan dihasilkan tepung beras sebesar 0,13 juta ton per tahun. Harga tepung berasRp. 4000 per kg, berarti nilai ekonomi produk tepung beras tersebut mencapai Rp. 520 milyar per tahun. Dari total potensi sekam sebesar10,36 juta ton, bila diproyeksikan sebesar 10% dapat dimanfaatkan untuk arang sekam, akan dihasilkan arang sekam sebanyak 0,62 jutaton per tahun (rendemen 60%). Harga arang sekam Rp. 750 per kg,berarti nilai ekonomi produk arang sekam tersebut mencapai Rp. 465milyar per tahun.
- Jagung
Sebagai bahan yang mengandung sekitar 70% pati, 10%protein, dan 5% lemak, jagung mempunyai potensi yang cukup besaruntuk dikembangkan menjadi beragam produk dan berbagai jenisusaha. Teknologi pengolahan untuk biji jagung utuh berpotensi membawa jagung ke dalam berbagai usaha, baik untuk produksi pakan maupun produksi pangan seperti corn-flake, pop-corn, tepung jagung dan sebagainya. Sebaliknya, berbagai teknologi pengolahan lainnya juga berpotensi menjadikan jagung sebagai bahan baku dalam usaha pengolahan produk turunan parsial dari jagung, seperti usaha produksi pati, protein maupun lemak (minyak) jagung dan produk turunan masing-masing.
Jagung juga berpotensi diusahakan dalam bentuk utuh tanpa diolah. Meskipun usaha ini berpeluang tidak mendapatkan nilai tambah yang besar akibat pengolahan, prospek usaha ekspor biji jagung relative cukup baik. Terbukanya pasar jagung dunia sebesar 77 - 90 juta ton per tahun merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengisi segmen pasar tersebut. Dengan potensi jagung nasional, maka pengembangan agribisnis jagung nasional di masa depan dapat diarahkan pada pengembangan ekspor jagung dan pengembangan agroindustri pati jagung.
- Prospek pengembangan agroindustri jagung
Indonesia diperkirakan akan mengalami kelebihan produksi
jagung sebesar 620.660 ton pada tahun 2009 dan 2,04 juta ton pada
tahun 2015, maka fokus pengembangan komoditas jagung dalam 5
tahun ke depan seyogyanya diarahkan berdasarkan arus permintaan
dan kemampuan (daya saing) yang dimiliki produk. Terbukanya pasar
jagung dunia sebesar 77-90 juta ton per tahun suatu pasar yang
sangat menantang. Peluang ini menjadi lebih besar mengingat adanya
gejala penurunan pasokan jagung oleh Amerika dan Cina akibat
peningkatan kebutuhan dalam negeri mereka. Produksi jagung di masa
depan bisa saja sepenuhnya diarahkan pada pemenuhan pasar ekspor.
Di sisi lain, seluruh kelebihan produksi dapat juga diarahkan sebagai bahan baku pengolahan pati jagung. Perkembangan industri pangan dan non pangan seperti industry sorbitol, kertas, tekstil dan kayu lapis di Indonesia memberikan peluang lain bagi pengembangan komoditas jagung. Selama ini, berbagai industri di atas dikenal sebagai konsumen utama pati. Kebutuhan pati secara nasional berkisar antara 1,5 - 2,0 juta ton per tahun.
Kebutuhan pati domestik ini umumnya masih dipenuhi oleh pati singkong (tapioka) domestik maupun impor. Produk pati di Indonesia terutama diserap oleh industri krupuk/cracker (25%), pemanis (15%), mi instan dan rerotian (20%), sorbitol (9%), kertas (7%), dan sisanya untuk berbagai industri lain5. Berdasarkan karakteristiknya, pati jagungtidak mampu menggantikan peran tapioka di dalam produksi krupuk. Namun untuk produk yang lain, pati jagung potensial mensubstitusi terigu maupun tapioka dari 20-100%. Jika pati jagung menggantikan 10% saja dari penggunaan yang lain, maka akan terdapat sekitar 0,3-1,0 juta ton pati jagung yang diperlukan per tahun.
- Teknologi pascapanen jagung
- Teknologi pengeringan jagung
Teknologi pengeringan jagung selama ini masih dikerjakan secara tradisional. Panen jagung dilakukan secara manual (dipetik), kemudian jagung dipipil untuk merontokkan biji jagung dari tongkolnya. Proses pemipilan umumnya sudah dilaksanakan dengan memanfaatkan alat pemipil, baik pemipil mekanis maupun bermotor. Pengeringan biji masih dilakukan dengan mengandalkan teknik penjemuran di bawah sinar matahari dengan beralaskan tikar atau terpal yang digelar di halaman rumah atau jalan desa. Sementara itu, penyimpanan jagung dilakukan dalam kapasitas gudang yang terbatas dengan teknik penyimpanan yang belum memadai dari sisi penjagaan mutu, keamanan maupun masa simpan.
Dengan teknologi yang ada (existing technology) seperti di atas, maka pengembangan ekspor jagung ke pasar internasional memerlukan dukungan teknologi lebih memadai. Aspek produksi merupakan faktor pertama yang menentukan keberhasilan ekspor. Produksi yang gagal jelas tidak memungkinkan keinginan untuk ekspor jagung. Di sisi lain, dukungan teknologi pascapanen juga sangat menentukan. Perbaikan proses pengeringan merupakan prioritas, yang selanjutnya perlu didukung dengan adanya investasi untuk pembangunan gudang penampungan dan/atau silo untuk penyimpanan sebelum diekspor.
Pengeringan jagung dengan alat pengering dapat memperbaiki mutu jagung karena waktu pengeringan yang lebih singkat. Penggunaan alat pengering ini sebenarnya telah dikenal oleh sebagianpedagang jagung. Alat pengering yang telah dikenal tersebut adalah jenis pengering Lister Dryer dan Flat Bed Dryer. Pengering tipe flat bed ini banyak digunakan perusahaan jagung untuk orientasi ekspor. Kemampuan menghasilkan biji dengan mutu yang baik belum cukup untuk menarik pembeli. Untuk pemenangan pasar, produksi jagung perlu memperhatikan adanya jaminan mutu. Oleh sebab itu dukungan penerapan sistem mutu dalam rangka ekspor jagung juga diperlukan.
- Teknologi pengolahan pati jagung
Teknologi pengolahan pati jagung pada skala kecil-menengah di Indonesia sejauh ini belum dikenal. PT Suba Indah Tbk yang beroperasi pada kapasitas 1000 ton per hari merupakan industri pati jagung dalam negeri yang paling dikenal saat ini. Berbagai alat, seperti Centrifuge Separator untuk pemisahan pati-protein, Hydrocyclone untuk pencucian pati, Peeler Centrifuge untuk penirisan pati, Vacuum
Drum Filter, Evaporator, Flash dan Bundle Dryer, Grind Miller, Screen dan lain-lain, sangat diperlukan dalam proses ini. Dengan dukungan seperangkat teknologi ini, maka industri pengolah jagung tidak hanya akan memperoleh pati jagung, tetapi juga beragam produk samping yang bernilai tambah cukup tinggi. Lampiran 2 menyajikan alur proses dan produk yang dapat dihasilkan dalam pengolahan jagung.Bila angka 1,0 juta ton per tahun disepakati sebagai pangsa pasar pati jagung dalam negeri, maka keberadaan PT Suba Indah telah mengambil sebagian pangsa tersebut. Dengan kapasitas produksi 1.000 ton biji jagung per hari dan 250 hari kerja per tahun, maka akan diolah 250.000 ton jagung. Jika rendemen pati mencapai 60 - 65%, maka akan diperoleh 150.000-162.500 ton pati yang telah dipasok. Dengan demikian masih terdapat 800.000 ton hingga 850.000 ton lagi per tahun yang menjadi pangsa pasar pati jagung. Dengan potensi seperti ini, maka pengembangan komoditas jagung ke arah usaha produksi pati memiliki prospek yang cukup cerah.
- Kebutuhan investasi agroindustri jagung
Dalam perhitungan yang pesimistis, hasil analisis menunjukkan bahwa kebutuhan investasi untuk dapat melakukan ekspor jagungsebesar 8% total produksi per tahun pada kurun waktu tahun 2005-2009 diperlukan dana sebesar Rp.69,07 triliun. Komponen investasi yang termasuk dalam perhitungan ini meliputi biaya pembukaan lahan baru, litbang pemerintah, penyuluhan,pengadaan traktor, pompa air, hand sprayer, pemipil, pengering flat bed, gudang, penangkar benih, litbang swasta, sumur bor, dan modal kerja. Sementara itu untuk pengembangan industri pati jagung, surplus produksi tahun 2009 adalah setara dengan 2,5 kali kebutuhan PT. Suba Indah per tahun (250.000 ton). Oleh sebab itu usaha pengembangan industri pati jagung dapat dilakukan dengan mengembangkan 1- 2 unit pengolah baru sejenis PT. Suba Indah, tanpa mengurangi pangsa pasokan bahan baku maupun pasar industri yang sudah ada. Jika langkah ini ditempuh, maka kebutuhan investasi-nya mencapai Rp.80-160 miliar. Studi kelayakan industri PT Suba Indah menyatakan bahwa untuk mengembangkan industri pati jagung pada 5 tahun yang lalu (1999 - 2000) diperlukan dana 40 miliar rupiah.
Dengan asumsi bahwa laju inflasi 10% per tahun, maka per unit pengolahan pati jagung pada tahun 2009 diperlukan 80 miliar rupiah. Dana tersebut meliputi pembelian lahan, alat-alat, pembangunan pabrik dan silo serta modal kerja. Sedangkan dana untuk sosialisasi dan promosi pati jagung dan produk lainnya tidak termasuk dalam cakupan investasi tersebut.
0 Responses to "JURNAL HORTIKULTURA"
Posting Komentar